SerialBumi Tere Liye Urutan - Review Buku Bumi Series🧚‍♀️ | Heather / Tokoh dalam serial bumi ini memiliki ciri dan karakter yang kuat dan unik. pada tanggal Mei 25, 2021
TereLiye “Bumi” 48 Mama tidak berkomentar lagi, hanya tatapan matanya yang lembutseolah berkata sebaiknya Papa mandi dulu, makan malam, istirahat,semua masalah pasti bisa diselesaikan. ”Belum lagi, pemilik perusahaan marah-marah, dan Papa-lah yangpaling kena batunya. Papa yang menyarankan membeli mesin itu,memeriksa spesifikasinya, memilih vendornya, dia bahkan berteriak-teriakmengancam akan memecat siapa saja yang tidak becus. Hari inimelelahkan sekali, mengurus buruh yang terluka, juga mengurus bosbesar yang mengamuk. Papa minta maaf lupa menelepon. Ponsel Papaketinggalan di kantor, tidak tahu kalau Ra dan Mama sudah meneleponberkali-kali, cemas menunggu makan malam bersama.” Papa me­nyisirrambut­nya dengan jemari, menatap Mama, merasa ber­salah. Mama tersenyum anggun. ”Ya sudah. Sekarang Papa cepat mandi,pasti jadi lebih segar.” Aku yang mengintip dari balik jari tengah dan telunjuk di anaktangga menghela napas. Kalau sudah begini, pasti urusan di kantorbesok-besok akan tambah rumit. Kalau sudah begini, siapa pula yangsedang berusaha memenangkan hati pemilik perusahaan dengan konsermusik? Aku beranjak naik ke lantai atas, kembali ke kamar. ”Papa sudah makan?” ”Belum sempat. Tepatnya tidak kepikiran. Mama sudah?” ”Belum. Hanya Ra yang sudah. Dia pura-pura mau pingsan bahkansejak pukul tujuh. Anak itu semakin susah disuruh makan malambersama.” Suara bergurau Mama terdengar lamat-lamat, juga tawa Papa yanglelah. Aku pelan mendorong pintu kamarku. Aku menatap kamarku yanggelap, menyisakan selarik cahaya dari lampu jalanan. Hujan deras terusturun di luar. Si Putih tidur me­ringkuk di pojokan kasur. Jam dindingberbunyi pelan detik demi detik. Aku menghela napas, melangkah keranjang sambil menatap cermin besar di meja belajar. Eh? Bukankah itu...? Aku hampir berseru kaget. Remang cahayalebih dari cukup untuk melihat pantulan cermin, dan lihatlah, ada si “Bumi” 49Hitam di cermin, tidur di dekat si Putih. Aku refleks menoleh ke atasranjang. Tidak ada. Refleks kembali menoleh ke cermin. Tidak ada. Aku menelan ludah, melangkah lebih dekat ke cermin besar persisdi samping ranjangku, memasti­kan. Aku tidak mungkin salah lihat, akutadi melihatnya di da­lam cermin, si Hitam tidur di sebelah si Putih. Inibenar-benar ganjil. Aku menatap lamat-lamat cermin besar, yang sekarang hanyamemantulkan apa yang ada di kamar. Hanya ada si Putih dan aku—yangmerapikan rambut panjangku, sambil menatap sekitar dengan bingung. Ini bukan hari terbaikku. Tadi pagi aku dihukum Miss Ke­riting,menunggu di lorong kelas selama pelajarannya, bertengkar de­ngan pulang sekolah, kucingku hilang satu. Malam ini, baru saja akutahu Papa punya masalah di kantor, ditambah pula aku jadi susah tidur. Aku sudah berbaring, menutup tubuh dengan selimut, me­melukguling, tapi aku hanya menatap cermin di kamar. Aku mematut-matut,meletakkan tangan di wajah, menghilang, lantas meng­intip dari sela jari,menatap cermin besar itu, berharap melihat se­suatu. Tidak ada si Hitamdi sana. Suara hujan deras me­menuhi langit-langit kamar. Kelebat petirterlihat dari balik tirai jendela. Guntur menggelegar. Ca­haya remangkamarku terlihat memantul di cermin besar. Temaram. Tidak ada apa pundi sana. Aku menghela napas kecewa. Aku yakin sekali tadi melihat si Hitamdi dalam cermin. Hingga satu jam berikutnya, tetap tidak ada apa pun dan siapa pundi cermin besar itu. Aku kelelahan, dan jatuh tertidur. *** Pagi sekali, jam beker alami rumah kami, Mama, sudah ber­teriak-teriak membangunkan. ”Ra, bangun! Papa harus berangkat pagi, ayobangun!” “Bumi” 50 Aku menguap, menyingkap selimut. Si Putih masih malasmeringkuk di ujung kakiku. Teringat percakapan orangtuaku tadi malam,aku bergegas loncat dari ranjang. Aku harus mem­bantu Papa, setidaknyadengan tidak merepotkan membuatnya menungguku. Aku mandi dengancepat, berganti seragam, me­nyiapkan tas sekolah, memastikan buku PRmatematika itu ku­bawa. Lantas bergabung turun. ”Pagi, Ra,” Papa menyapaku. Papa sedang sarapan—tidakme­nyentuh koran pagi. ”Pagi, Pa.” Aku langsung menyeret kursi. ”Kamu mau sarapan apa, Ra?” ”Nasi goreng saja, Ma.” Mama menyendok nasi goreng dari atas wajan. ”Bagaimana sekolah kamu kemarin?” Papa bertanya. ”Seperti biasa, Pa.” Papa mengangguk, tidak bertanya lagi. Aku bergegasmeng­habiskan sarapanku. Mama sibuk membereskan peralatan masakkotor. Sarapan cepat, sepuluh menit aku sudah melangkah di belakangPapa menuju garasi. Kucium tangan Mama, dan tiga puluh detikkemudian, mobil yang dikemudikan Papa meluncur ke jalan raya. Sepanjang perjalanan Papa lebih sering me­nelepon dan di­ bisa mendengar percakapan Papa karena ponsel Papa disetelmenggunakan pengeras suara. Tentang buruh di ru­mah sakit, apakahkeluarga mereka sudah datang, Papa ber­tanya memastikan. Juga tentangmesin pencacah raksasa, tadi malam teknisi bule itu pulang jam mengangguk mendengar jawabannya. Aku menatap ke luar jendela, tidak terlalu tertarik mengupingpembicaraan. Pagi ini cerah, wajah-wajah sibuk menyambut pagi disiram cahayalembut matahari. Langit terlihat bersih, hanya sisa air hujan di ujung ataprumah, halte, pepohon­an, juga genangan kecil di jalan. “Bumi” 51 ”Bagaimana mesin cuci Mama? Oke, bukan?” ”Eh?” Aku menoleh ke depan. ”Kamu kemarin jadi menemani Mama ke toko elektronik?” Papabertanya, tersenyum. ”Oh, jadi, Pa. Tapi Mama cuma beli model dan merek yang samapersis dengan yang lama kok. Kata Mama biar sama awetnya, limatahun.” Aku nyengir lebar. Papa mengangguk. ”Kamu hari ini pulang sore?” Aku menggeleng. ”Tidak ada les, Pa. Pertemuan Klub Menulis jugaditiadakan.” Mobil hampir tiba di sekolah. Dengan kesibukan baru Papa, hanyaitu percakapan kami. Tidak sempat ada momen Papa mem­berikan petuahsaktinya—meskipun kadang tidak nyam­bung. Aku bersiap-siapmenyandang tas di punggung. Mobil merapat ke gerbang sekolah. Akumemajukan kepala, mendekat ke Papa. ”Semangat ya, Pa!” ”Eh?” Papa menoleh, tidak mengerti. ”Semangat buat apa?” ”Pokoknya semangat aja!” Aku tertawa. ”Semangat ya, Pa!” Papa diam sejenak, menyelidik, akhirnya mengangguk. ”Iya, kamujuga semangat ya!” ”Dadah, Papa!” Aku membuka pintu mobil, beranjak turun. ”Dadah, Ra!” Mobil segera meninggalkan gerbang sekolah. Aku menatapnyahingga hilang di kelokan jalan. Sejak aku sudah mengerti, aku tahu bahwa di keluarga kami jugaada peraturan tidak tertulis—di luar peraturan Mama yang se­tebal novelitu. Papa tidak akan pernah mem­bicara­kan masalah kantor Mama, tidak akan pernah membicarakan masalah apa pun di luarsana kepadaku. Mereka berjanji tidak akan melibatkanku yang masih “Bumi” 52kecil sekarang sudah remaja, membuatku ikut memikirkan, cemas,meng­ganggu jam belajarku. Biarkan Ra menikmati masa-masaterbaiknya, demikian penjelas­an Mama yang aku tahu dari meng­intip dibalik sela jemari. Biarkan masalah-masalah itu hanya ada pada Mamadan Papa. Aku berlari kecil melewati lapangan sekolah yang masih aku orang pertama yang tiba di sekolah pagi ini. Aku menaiki anak tangga, berjalan di lorong lantai dua, masuk kekelas. Lengang. Aku menuju meja, meletakkan tas, melihat se­kitar yangkosong, dan melangkah ke lorong depan kelas. Se­pertinya aku lebih baikmenunggu teman-teman di sini, sambil menatap lapangan asyik menatap bangunan sekolah yang lengang. ”Pagi, Ra.” Suara khas itu membuatku menoleh. Itu bukan suara Seli. Itu suara Ali. Tapi sejak kapan si biang kerokini ramah menegur orang lain? Biasanya dia tidak peduli, jalan seradak-seruduk, mencari masalah. Sejak kapan pula dia datang sepagi ini?Bukankah biasanya dia nyaris terlambat? ”Kamu tidak menjawab salamku, Ra?” Ali menatapku sambilcengar-cengir, tidak membawa tas, menepuk-nepukkan tangannya untukmembersihkan debu. Sepertinya dia habis melakukan se­suatu, habismemasang sesuatu, entahlah. ”Kamu sudah datang dari tadi?” aku menyelidik. ”Setengah jam lalu. Gerbang sekolah malah masih dikunci.” Alitertawa. ”Kamu belum menjawab salamku, Ra? Tidak sopan lho, disapabaik-baik tapi malah dijawab dengan pertanyaan.” ”Bodo amat,” jawabku, lalu kembali menatap lapangan. ”Bagaimana kabar kucingmu? Si Hitam sudah ketemu?” Aku refleks menoleh, mematung sejenak, menatap Ali tidakmengerti. “Bumi” 53 Si biang kerok itu tertawa, melambaikan tangan, melangkah masukke kelas. “Bumi” 54 H, hei.” Aku bergegas menyejajari langkah Ali. ”Dari manakamu tahu si Hitam hilang?” Sambil nyengir, Ali tidak mengacuhkan pertanyaanku, dan terusberjalan. ”Dari mana kamu tahu?” Aku menghalangi langkahnya. Sebal. ”Jawab dulu salamku yang tadi,” Ali berkata santai, ”barukupikirkan akan memberitahumu atau tidak.” Aku melotot, sebal bukan kepalang. Kutatap wajah Ali dengangalak, tapi tidak mempan. Sepertinya aku tidak punya pilihan. Ali tidakakan mengalah hanya karena aku cewek. Baik­lah. ”Pagi juga,” jawabku. ”Ah, itu sih bukan menjawab salam. Itu orang lagi ketus.” Ingin rasanya aku mendorong tubuh si biang kerok itu. ”Coba diulangi. Nah, selamat pagi, Ra....” Aku menelan ludah, meremas jemari. ”Selamat pagi, Ra,” Ali mengulang salamnya, cengar-cengir, sengajabenar menunggu jawabanku. ”Selamat pagi, Ali.” Aku benar-benar kalah. ”Masih belum pas, Ra. Masih kayak orang kebelet ke toilet.” Alitertawa. Aku hampir mendorong badannya, jengkel. ”Selamat pagi, Ra,” Ali mengulang salamnya sambil menahan tawa. ”Selamat pagi, Ali.” Kali ini aku menjawab sungguh-sungguh. “Bumi” 55 ”Nah, itu baru keren. Bye! Aku lapar, Ra, mau ke kantin dulu.” Alijustru balik kanan, kembali ke lorong, hendak menuju anak tangga. ”Eh, hei, nanti dulu!” Aku bergegas menghalangi. ”Tadi kamu sudahjanji mau kasih tahu aku dari mana kamu tahu kucingku hilang.” ”Siapa yang janji?” Ali memasang wajah paling bodoh se­dunia—maksud ekspresi wajah itu sebenarnya adalah akulah yang paling bodohsedunia karena tidak mengerti kalimatnya. ”Aku tadi hanya bilang nantikupikirkan akan memberitahumu atau tidak. Hanya itu.” Aku terdiam, menggeram. ”Atau kamu mau mentraktirku bubur ayam, Ra?” Ali ter­senyum,mengedipkan mata. ”Nanti baru kupikirkan lagi apakah akanmemberitahumu atau tidak.” ”Tidak mau.” Sebalku nyaris di ubun-ubun. ”Atau kamu jawab dulu pertanyaanku kemarin. Kamu sungguh­­anbisa menghilang, kan? Nanti akan kuberitahu apa pun pertanyaanmu,bahkan termasuk misalnya, apakah Miss Keriting itu rambutnya benar-benar keriting atau hanya wig.” Aku berpikir sejenak, lantas mengembuskan napas, berusahamengempiskan rasa jengkel. Urusan ini sama seperti yang ku­bilang padaSeli. Percuma, tidak pantas ditanggapi. Semakin ditanggapi, Ali malahsemakin senang, dan dia semakin punya amunisi. Aku menyeka dahi,memutuskan melangkah meninggal­kan Ali. ”Hei, Ra, kok kamu malah pergi?” Ali mengangkat bahu­, bingung. Aku masuk ke dalam kelas, tidak menoleh. Tapi Ali sudahme­nyusulku. ”Kita ngobrol di kantin yuk, mumpung sepi. Nanti aku beritahu darimana aku tahu kucingmu hilang. Di sana tidak akan ada yang mengupingpembicaraan tentang hilang-meng­hilang itu.” Ali berusaha membujuk,sedikit menyesal gagal men­jebakku mengaku. ”Atau kamu mau tahusesuatu? Misalnya, apa­kah si Hitam itu sungguhan ada atau tidak? Akubisa mem­bantu.” “Bumi” 56 Aku sudah memutuskan tutup telinga, melangkah menuju meja. Alimemang genius, serbatahu, banyak akal, tapi dia lupa satu halkegeniusan dan rasa ingin tahunya itulah yang menjadi atau lambat, karena rasa penasaran, dia akan mengalah, dan akuakan tahu dari mana dia bisa tahu si Hitam hilang—ter­masuk seruannyabarusan. ”Dasar jerawatan! Begitu saja marah, cewek banget.” Ali bergumamkesal, menyerah, meninggalkanku sendirian di kelas. Apa Ali bilang? Jerawatan? Kalau saja menurutkan perasaan, sudahkutimpuk si biang kerok itu dengan sepatu. Sejak kapan ada yangmengataiku jerawatan? Dia itu—yang seluruh se­kolah juga tahu—sudahberantakan rambutnya, ketombean pula. *** Matahari beranjak naik, langit cerah, membuat cahayanyame­nerabas lembut melewati kisi-kisi ruangan. Sekolah mulai ramai,teman-teman sekelas satu per satu masuk, meletakkan tas. Mereka salingsapa. Suara dengung percakapan, teriakan, ada yang ber­main bola dilapangan, apa saja memenuhi sekolah. Seli tiba setengah jam kemudian,menyapaku. ”Pagi, Ra.” Aku tersenyum, mengangguk. ”Kamu tidakketinggalan buku PR Miss Keriting lagi, kan?” Seli tertawa, sambilmemasukkan tas ke laci meja. Aku mengangkat buku PR matematikaku. Pukul bel bernyanyi nyaring, menghentikan seluruhke­ramaian. Anak-anak bergegas masuk ke kelas. Pelajaran per­tama hariini akan segera dimulai. Seperti biasa, ketukan suara sepatu Miss Keriting terdengar dilorong, jauh sebelum dia tiba di kelas. Hari ini dia me­ngenakan kemejacokelat lengan panjang, celana kain berwarna senada, dan sepatu dengan wajahnya yang penuh disiplin. Rambut keritingnya terlihatrapi. Eh, apakah itu rambut asli atau wig? Aku buru-buru mengusirpertanyaan dalam hati saat melihat rambut Miss Keriting—ini pasti gara-gara Ali baru­san, semua yang keluar dari mulutnya memancing rasape­nasaran. ”Selamat pagi, anak-anak.” “Bumi” 57 ”Pagi, Bu,” kami kompak menjawab. ”Keluarkan buku PR kalian.” Itu selalu kalimat standar pem­bukaMiss Keriting. Dia tidak merasa perlu mengabsen kami, cukup mengabsenbuku PR. Anak-anak bergegas mengeluarkan buku PR dari dalam tas. Rasasebalku dibilang jerawatan oleh Ali akhirnya terbayar. Lihat­lah, Ali lagi-lagi tidak mengerjakan PR. Tepatnya dia mengerja­kan, hanya saja salahhalaman. ”Brilian sekali, Ali. Ibu suruh kerjakan halaman 50, kamumalah me­ngerjakan halaman 40. Sebagai informasi, itu PR kita minggulalu. Makanya lubang telingamu yang besar itu harus sering-seringdibersihkan.” Teman-teman sekelas tertawa. Satu-dua menepuk ujung meja. Selimenyikutku, memasang wajah senang yang jahat. Kami me­natap Alimeninggalkan kelas. Sambil menggaruk kepalanya, rambutnyaberantakan, dia melangkah menuju pintu. Aku me­natap punggung Ali,menilik raut wajahnya, sepertinya dia tidak malu atau keberatan diusirdari kelas pagi ini, malah senang. Pelajaran matematika yang selalu terasa lebih lama daripadabiasanya dimulai. Satu jam berlalu, tiga-empat orang teman me­nguapmemperhatikan seliweran rumus di papan tulis. Mereka mulai gelisah,seperti duduk di bangku panas. Miss Keriting sebenarnya guru yang baik. Dia menjelaskan denganterang dan sistematis. Dua jam berlalu, separuh teman menyusul menguap, me­ngeluhtidak mengerti, konsentrasi berkurang cepat, meskipun Miss Keritingberusaha bergurau di tengah pelajaran, intermezzo. Akhirnya bel istirahatpertama berbunyi nyaring, menyelamatkan sisa teman yang belummenguap. Dengung riang memenuhi langit-langit kelas, meski bungkamsejenak saat Miss Keriting berseru minggu depan ulangan sumatif. Tidakapalah, setidaknya masih minggu depan penderitaan ulangan itu. ”Ra, temani aku ke kantin, yuk!” Seli memegang lenganku. Isi kelastinggal separuh. “Bumi” 58 ”Aku tidak lapar.” Aku menggeleng malas. ”Ayolah, aku traktir makan bakso lagi.” Seli mengedipkan mata. Aku nyengir lebar. Bukan soal ditraktir atau tidak. Aku lagi malaske mana-mana, lebih suka duduk di kelas. Tapi Seli ber­hasilmembujukku. Kelas dengan segera kosong. Teman-teman memilih me­lemas­kanbadan di luar setelah sepagian menatap rumus matematika, menyisakansatu anak di kelas, dan itu adalah Ali. Dia justru melangkah masuk kekelas, menepuk-nepukkan tangannya, mem­bersihkan debu, lagi-lagiseperti habis memasang sesuatu. Kayak­nya Ali akan tinggal di kelas. Diabahkan melirik mejaku. Baiklah, lebih baik aku ikut Seli ke kantin. Letak kantin ada di belakang sekolah, bangunan tersendiri, persis disebelah parkiran motor dan bangunan gardu listrik dengan tiang-tiangtinggi. Aku dan Seli berjalan cepat menuruni anak tangga, melintasilorong bawah, sesekali menyapa dan disapa teman yang lain. Kantin tidakseramai kemarin, tapi tetap tidak mudah memperoleh meja kosong. ”Jangan di sana, Ra.” Seli mendadak menahan lenganku. ”Eh, bukannya kita mau makan bakso?” Aku menatap Seli tidakmengerti. ”Ada kakak kelas geng cheerleader kemarin. Yang kamu timpukkepalanya.” Seli menarik tanganku, berbisik cemas. Lalu ia ngacir sambilberkata, ”Kita makan batagor saja, ya.” Aku tertawa, menatap kerumunan kakak kelas itu. ”Tapi bisa jadimereka sudah lupa kejadian kemarin, kan? Kita tetap makan bakso, ya?” Seli menggeleng tegas. Baiklah, aku mengikuti punggung Seli. Lima menit menunggu, dua piring penuh batagor terhidang. ”Kamu tidak sempat sarapan di rumah, Sel?” Aku menatap Seliyang antusias meraih sendok. “Bumi” 59 ”Sarapan kok. Selalu.” Seli menyendok dua potong batagorsekaligus. ”Lapar saja. Pelajaran Miss Keriting menghabiskan banyakenergi, Ra.” Aku tertawa, mengangguk setuju, meraih piringku. ”Kamu tahu tidak, rambut Miss Keriting itu asli keriting ataubohongan?” Aku asal comot ide percakapan, tiga menit setelah diam,karena Seli asyik sekali dengan batagornya. ”Eh?” Dahi Seli terlipat. ”Rambut asli, kan? Memangnya wig, Ra?” Aku mengangkat bahu. Aku juga bertanya. Penasaran gara-garaucapan Ali tadi pagi. Dua gelas es jeruk dikirimkan ke meja kami. Seli ber-hah kepedasan, bilang terima kasih. ”Kamu sekarang jerawatan ya, Ra?” Seli menyelidik, menatapjidatku, sambil meneguk sepertiga isi gelasnya. Eh? Aku refleks menyentuh jidat yang ditatap Seli. Jadi ingat lagitadi pagi diumpat Ali. Benar, ternyata di jidatku ada benjol kecil. Akumengangkat sendok, melihat bayangan jerawat di jidat. Aku mengeluh. Sebenarnya aku tidak jerawatan. Jerawat seperti ini selalu munculkalau aku lagi banyak pikiran. Sepertinya, memikirkan kejadian si Hitamhilang dan masalah kantor Papa semalaman sukses membuatkuberjerawat, merekah seperti jamur pada pagi penghujan. ”Itu bakal jadi jerawat besar lho, Ra.” Aku memegang-megang jerawatku, memang terasa besar. Seli menepis tangan­ku. ”Jangan dipegang, Ra. Nanti tambah kalau kamu pencet-pencet, nanti bisa pecah dan beranak-pinak,jadi tambah banyak. Horor, Ra.” Wajah Seli serius sekali—seperti wajahdokter spesialis kulit dan kecantikan para boyband Korea yangdigemarinya. Aku melotot. Bukannya menghibur teman yang jerawatan, Selimalah menakut-nakuti. Apa mau dikata, usiaku masih lima belas tahun, “Bumi” 60kelas sepuluh, dan seperti kebanyakan remaja seumuranku, jerawat satusaja bisa bikin rusak suasana hati. Aku akhirnya hanya mampu menghabiskan separuh porsibatagorku. Selera makanku hilang. Seli menawarkan diri menghabiskanbatagor­ku. Tuntas satu menit, aku mengajak Seli kembali ke kelas,menunggu bel masuk yang tinggal beberapa menit lagi. ”Lusa kantinnya tutup lho, Neng. Sudah tahu belum?” Ma­mangbatagor basa-basi mengajak bicara, sambil mencari uang kembalian darisakunya. ”Tutup? Kok tidak ada pengumuman jauh-jauh hari?” Seli yangselalu berkepentingan dengan kantin bertanya memasti­kan. ”Mendadak, Neng. Itu gardu listrik dekat kantin mau diper­ kantin ini dekat gardu, jadi diminta ditutup sama baru saja petugas PLN-nya bilang. Cuma tutup sehari kok. Eh, nggakada kembaliannya nih. Gimana?” ”Ya sudah, sekalian buat bayar Mamang bakso. Kemarin saya belidua mangkuk. Tolong dibayarkan, ya. Sama es jeruknya juga.” Seli gesitpunya ide lain—melirik meja dekat gerobak bakso yang masih diisi gengcheerleader. Mamang batagor mengangguk, sudah terbiasa dengan polapembayaran ”canggih” seperti ini di kantin. Sisa pelajaran hari ini lebih santai, teman-teman lebih banyaktertawa mengikuti pelajaran sejarah. Gurunya kocak, meski sudahberuban, sepuh, hampir pensiun. Mr. Rosihan lebih banyak mengajar daripengalamannya dibanding buku teks yang kami pegang, membawakliping-kliping koran ke dalam kelas yang tebalnya membuat kamisemakin respek padanya. Menurut bisik-bisik Seli, Mr. Rosihan bahkankenal dengan beberapa tokoh nasional dalam buku sejarah kami. Lewat istirahat kedua, jam pelajaran terakhir adalah bahasa Theo, guru yang tampan dan pintar berbahasa Inggris itu lima tahunpernah tinggal di London, menyuruh kami bermain drama, praktikconversation. Seli—yang ngefans berat dengan Mr. Theo—terlihat “Bumi” 61menyunggingkan senyum sepanjang pelajaran. Dia lebih banyakmemperhatikan wajah Mr. Theo lantas mengangguk sok paham dibandingmenyimak penjelasan. Dua kali Seli salah paham, sok siap maju ke depankelas padahal belum dipanggil. Teman sekelas ramai tertawa, Seli hanyacemberut kembali ke bangku. Aku juga suka pelajaran ini, juga pelajaran sejarah, tapi jerawatsialan di jidat membuatku tidak konsen. Meskipun Seli sejak dari kantinberkali-kali menyikut, berbisik, ”Jangan di­pegang-pegang, Ra. Nantimenular ke pipi, dagu, hidung, ke mana-mana,” aku tetap saja refleksmemegang jerawat itu. Rasa­nya ingin kupencet kuat-kuat. Ini situasiyang menyebal­kan, belum lagi aku satu kelompok dengan Alimementaskan drama. Si biang kerok itu berkali-kali sengaja menunjukjidatku dengan ujung bibirnya. Bel pulang berbunyi nyaring. Mr. Theo menutup pelajaran denganmengajak kami bertepuk tangan, mengapresiasi pentas drama amatiran didepan kelas barusan. Teman-teman bergegas membereskan buku dan tas. Aku melangkah malas kembali ke meja. Hari yang buruk, sekali lagiaku refleks menyentuh jerawat besar di jidat, me­ngeluh dalam hati,jangan-jangan dua-tiga hari ke depan aku akan terus berurusan denganjerawat ini—hingga kempis dan hilang sendiri. Aku sama sekali belum menyadari, justru gara-gara jerawat batuinilah terjadi sesuatu yang mencengangkan beberapa jam ke depan. “Bumi” 62 KU boleh mengerjakan PR bahasa Indonesia nanti sore dirumahmu ya, Ra?” Seli memegang lenganku. Kami dalam per­jalan­anpulang sekolah. Angkutan umum yang kami tumpangi penuh. Aku menoleh. ”Di rumah­ku?” ”Kamu yang paling pandai di kelas soal bahasa, Ra. Meskipun Alibisa membuat mobil terbang, tidak mungkin aku belajar mengarangdengannya. Aku belajar di rumahmu saja, ya? Boleh?” Seli memajukanbibirnya. Aku berpikir sejenak. ”Oke deh.” ”Trims, Ra. Nanti sore jam setengah tiga, ya. Biar nggakke­malaman pulang.” Seli tersenyum riang. Angkutan umum terus mengambil jalur kiri, merangsek macet,membuat tambah macet—meski penumpang seperti kami senang-senangsaja, jadi lebih cepat. Aku tiba di rumah sesuai jadwal. Seli bilang dia saja yang traktirbayar ongkos. Aku menggeleng, tapi Seli duluan berseru ke sopir. ”Nantisaya yang bayar, Pak.” Aku tersenyum, turun dari angkot tanpamembayar. Aku membuka gerbang pagar, melangkah di halaman rumputterpangkas rapi, mendorong pintu, berseru memanggil Mama. ”Ra sudahpulang, Ma!” Lagi-lagi hanya si Putih yang riang berlari menuruni anak tanggamenyambutku, mengeong-ngeong antusias. Aku melepas sepatu,melemparkannya sembarangan ke rak. ”Halo, Put.” Aku meraih kucingku, menggendongnya. Si Putihmenyundul-nyundulkan wajah manja. Bulu tebalnya terasa lembut dilengan. “Bumi” 63 ”Si Hitam belum kembali juga, ya?” Aku menatap sekitar,me­meriksa. Si Putih mengeong pelan. Mata bulatnya bercahaya. Aku berjalan melewati ruang keluarga, menuju dapur. Biasa­nyabaru mendengar pintu didorong pun Mama sudah tahu aku yang pulang,menyuruh bergegas makan. Tapi kali ini tidak ada yang tahu penyebabnya saat tiba di bela­kang rumah. Mama dengantangan penuh busa dan rambut berantak­an sedang mencuci pakaian. ”Kamu sudah pulang, Ra? Tidak ada pertemuan Klub Me­nulis?”Mama bertanya, tangannya tetap sibuk mengucek pakaian di dalamember besar. ”Eh, kenapa nggak pakai mesin cuci baru, Ma?” Aku tidakmen­jawab, sebaliknya bertanya sambil menatap bingung. ”Mesin cuci baru itu rusak, Ra.” Suara Mama terdengar sebal. ”Daritadi Mama utak-atik, tetap saja tidak menyala. Awas saja kalau merekatidak datang sore ini, bakal Mama tulis ke semua koran bahwa tokoelektronik itu tidak becus. Tega sekali mereka menjual barang rusak.” Aku terdiam sejenak, berusaha mengerti kalimat Mama, lantassejenak tersenyum kecil, menahan tawa. Lihatlah, wajah Mama yangmenggelembung bete selalu lucu. ”Masa sudah rusak, Ma?” ”Kamu lihat saja, Ra. Tuh, sama rusaknya seperti mesin cuci yanglama. Malah lebih parah. Tidak mau dinyalakan sama sekali.” Mamamenunjuk pojok belakang rumah dengan jari penuh busa. ”Mereka janjidatang sebelum jam tiga, ditukar dengan mesin cuci yang baru. TadiMama sudah ancam, telat satu menit pun, Mama akan bikin konferensipers. Tantemu kan wartawan televisi, bila perlu Mama masuk liputanberita.” Aku benar-benar tertawa sekarang. Kalau lagi sebal, Mama sukaberlebihan. ”Kenapa malah tertawa? Sana cepat ganti seragam. Makan siang.”Mama melotot. ”Aduh, masa tiba di rumah langsung main dengan kucing? “Bumi” 64Si Hitam atau si Putih itu kan bisa main sendiri, atau mainnya nanti-nanti?” Aku buru-buru melipat tawa, mengangguk. Kalau Mama sudahbete, memang lebih baik segera menyingkir. Kalau tidak, bakal ikutankena semprot. Aku meletakkan si Putih di lantai, berlari kecil menaikianak tangga, masuk ke kamar, melemparkan tas ke kursi, refleks melihatcermin, teringat tadi malam aku melihat bayangan si Hitam di sana. Tidakada. Aku mengeluh dalam hati, kenapa aku jadi aneh sekali? Akuberharap menemukan si Hitam di dalam cermin. Itu mustahil, kan?Telanjur menatap cermin, aku sejenak menatap jidatku, menghela terlihat seperti bintang terang di gelap malam—atau malahbulan saking besarnya. Hendak ku­pencet, tapi urung. Lebih baik segeramenyibukkan diri, su­paya aku lupa ada jerawat batu sialan di jidat. Mood Mama membaik saat aku duduk hampir menghabiskanmakan siang setengah jam kemudian. Mama mengeringkan tangandengan handuk, bergabung ke meja makan. ”Sudah selesai, Ma?” ”Sudah,” Mama menjawab pendek. ”Ma, nanti sore Seli mau main ke sini, mengerjakan PR ya?” Aku teringat percakapan di angkot tadi, memberi­tahu. Mama mengangguk, meraih piring, mendekati rice cooker. ”Setidaknya mencuci dengan tangan bikin Mama jadi berke­ringat,olahraga.” Mama bergumam, beranjak membuka tutup mangkuk supdaging. ”Eh, kamu habisin semua sup dagingnya, Ra?” Aku mengangkat bahu. ”Kirain Mama sudah makan.” ”Aduh, Ra, kan kamu bisa tanya Mama dulu.” Mama meng­omel,membuka mangkuk lainnya. ”Kamu seharusnya tahu, Mama butuhmakan banyak setelah menaklukkan seember besar cucian.” Aku menahan tawa, sebenarnya Mama selalu melampiaskan sebaldengan makan. Semakin bete, Mama semakin sering dan banyak makan.”Setidaknya Mama tidak melampiaskannya dengan belanja, Ra. Itu “Bumi” 65berbahaya, bisa membuat bangkrut ke­luarga,” Papa dulu pernah berbisiksaat Mama uring-uringan dua hari karena Papa lupa tanggal ulang tahunpernikahan. ”Untung­nya Mama hanya punya dua pelampiasan ya, makan, satunya lagi kamu tahu sendiri deh apa.” Mama mengambil apa pun masakan yang tersisa di atas meja, lalududuk, mengembuskan napas, mulai makan. Aku tidak banyak komentar,ikut menghabiskan makanan di piringku. ”Eh, Ma, Ra boleh tanya sesuatu?” tanyaku setelah lima menithanya terdengar suara sendok. ”Ya?” Mama mengangkat kepala. ”Mama dulu waktu remaja jerawatan nggak sih?” Mama menyelidik wajahku, melihat jidatku. ”Jerawatan itu biasa,Ra.” ”Tapi nggak sebesar ini, Ma. Lihat, besar banget, sudah kayakbisul.” Aku kecewa melihat ekspresi Mama—mengira Mama bakalbersimpati. ”Wajah kamu tetap manis bahkan dengan jerawat dua kali lebihbesar dibanding itu. Percaya Mama deh.” Mama menunjuk jidatku dengansendoknya. Aku menyeringai. Tentu saja Mama akan bilang begitu, aku jelas-jelas anak gadisnya—dalam situasi sebal sekalipun Mama pasti akanmemilih menyemangatiku. ”Ada obatnya nggak sih, Ma?” aku bertanya lagi setelah diamsejenak. ”Nanti juga hilang sendiri.” ”Iya kalau hilang, kalau tambah banyak?” Mama tertawa. ”Kamu ada-ada saja. Kalaupun tambah ba­nyak,wajahmu tetap manis. Eh, atau jangan-jangan kamu malu pu­nyajerawat, ya?” “Bumi” 66 Aku menggeleng. Siapa pula yang malu, ini cuma menjengkel­kan. ”Atau jangan-jangan kamu malu dilihat teman laki-laki di se­kolah­,ya? Ada yang naksir, Ra? Atau sebaliknya? Kamu naksir seseorang?”Mama menyelidik. ”Siapa sih, Ra?” Aku memonyongkan bibir. Mama itu tidak seru kalau lagi sebal. Halkedua pelampiasan Mama yang dibilang Papa dulu, selain makan, apa lagikalau bukan menggodaku. ”Papa pulang malam lagi, Ma?” aku buru-buru banting setirpembicaraan. ”Iya, tadi Papa telepon. Papa lagi punya banyak urusan di kantor.”Mama menghela napas prihatin, enggan bercerita lebih detail—meskipunsebenarnya aku sudah tahu dari me­nguping semalam. ”Bos Papa marah-marah terus.” Mama mengedip­kan mata, tersenyum tipis. ”Nah,setidaknya, nanti malam kamu boleh makan lebih dulu, tidak perlumenunggu Papa pulang.” Aku balas tersenyum tipis. Semoga Papa terus semangat. Agar uring-uringan Mama tidak menjadi-jadi, aku menawar­kan dirimencuci piring, juga membersihkan meja dan peralatan masak. Mamamembawa ember ke halaman belakang, menjemur pakaian basah. Tidakbanyak yang kulakukan setelah itu, me­milih membawa buku pelajaranturun ke ruang tamu, menunggu Seli sambil membaca novel—serayaberkali-kali refleks me­megang jerawat di jidat, memencet-mencet gemas. Pukul setengah tiga persis bel rumah berbunyi nyaring. ”Ra, ada tamu tuh!” Mama berteriak dari dalam. Aku mengangguk, lalu berdiri hendak membuka gerbang pagar. Selisepertinya sudah tiba. Si Putih berlari menemaniku melewati halamanrumput. Eh? Gerakan tanganku terhenti saat hendak membuka gerbang,menatap ke depan. Bukan Seli yang datang. “Bumi” 67 ELAMAT siang, Ra,” suara tegas dan disiplin itu me­nyapa. ”Miss Ke—” Aku buru-buru menelan ludah, menghentikan namapanggilan itu, hampir saja aku kelepasan menyebut Miss Keriting. ”MissSelena? Eh, selamat siang, Bu.” Aku bukan saja bingung karena ternyata bukan Seli yang datang,tapi lebih dari itu. Kepalaku segera dipenuhi banyak pertanyaan. Kenapaguru matematikaku ada di sini? Di depan gerbang rumahku? Kalau guruBP yang datang, masih dengan mudah dicerna. Kali-kali saja aku sudahmelanggar peraturan sekolah tanpa sadar. ”Boleh Ibu masuk, Ra?” Miss Keriting tersenyum. Eh? Aku buru-buru mengangguk, balas tersenyum sebaik mungkin.”Silakan, Bun. Maaf, saya tadi kaget. Kirain siapa yang datang.” Aku bergegas membuka gerendel gerbang, mendorongnya. ”Kamu sedang menunggu tamu lain, Ra?” Miss Keriting me­langkahmasuk. Aku menggeleng, kemudian mengangguk. ”Iya, Bu. Saya me­nungguSeli. Kami mau belajar bareng.” ”Oh.” Miss Keriting tersenyum tipis. Wajahnya yang tegas dandisiplin terlihat mengesankan dari jarak sedekat ini. Meskipun aku bingung, kenapa Miss Keriting tiba-tiba datang kerumah, aku setengah kaku segera menyilakan Miss Keriting jalan matematikaku itu berjalan dengan langkah teratur, berirama. Suarasepatunya yang mengentak tegel taman terdengar pelan. Masih denganpakaian tadi pagi, kemeja lengan panjang berwarna cokelat, celana kainberwarna senada, dan sepatu hitam—bedanya, sekarang Miss Keritingmembawa tas jinjing ber­ukuran sedang, bermotif simpel, berwarna ke­riting­nya bergerak lembut seiring gerakan tubuh tinggi “Bumi” 68ramping­nya. Dari jarak sedekat ini pula, aku baru me­nyadari posturMiss Keriting terlihat ber­beda. Dia tidak seperti wanita usia empatpuluhan kebanyak­an. Dia berbeda sekali. Sepertinya aku—dan temansekelas—tidak memperhati­kan Miss Keriting de­ngan baik di kelas, lebihdulu takut dengan rumus matematika di papan tulis. Aku membukakan pintu depan. ”Eh, sepatunya boleh dipakai kok,Bu. Tidak apa-apa.” Di rumah, Papa biasa mengenakan sepatu hinggaruang depan, Mama juga tidak melarangku. ”Terima kasih, Ra.” Miss Keriting tetap melepas sepatunya, anggundan cepat, tanpa sedikit pun membungkuk. ”Orangtuamu ada di rumah?” ”Seli sudah datang, Ra? Kalian mau dibuatkan minum apa sambilbelajar?” Suara Mama lebih dulu terdengar sebelum aku menjawab. Mamamelangkah dari ruang tengah, bergabung, sambil menyeka tangannyayang basah dengan handuk. ”Eh?” Mama terdiam sejenak, menatap ruangtamu, menatapku, pindah me­natap Miss Keriting. ”Ini guru Ra, Ma,” aku segera menjelaskan. ”Guru mate­ ini mama saya, Miss Selena. Kalau Papa masih di kantor, belumpulang.” ”Saya minta maaf karena tidak memberitahu lebih dulu akanbertamu.” Miss Keriting maju satu langkah, tangannya terulur,tersenyum. Masih separuh bingung, Mama ikut tersenyum, menerima ulurantangan Miss keriting. ”Eh, tidak apa. Hanya saja, aduh, saya berpakaianseadanya, kotor pula.” Mama melirik pakaiannya yang basah habismengurus dapur. Beberapa bercak minyak dan kotoran terlihat. ”Selena.” Miss Keriting menyebut nama. ”Selena?” Mata Mama membulat, mulai terbiasa. ”Aduh, Selena itukan nama yang kami rencanakan untuk Ra sebelum dia lahir. Artinyabulan. Tapi orangtua kami tidak setuju, me­nyuruh menggantinyamenjadi Raib. Mereka bilang itu nama leluhur yang harus dipakai bayikami. Eh, maaf, jadi mem­bahas hal-hal yang tidak perlu.” Mama tertawa,segera menyebut namanya, balas memperkenalkan diri. “Bumi” 69 Aku yang berdiri di antara mereka menatap lamat-lamat wajahMama—aku tidak tahu cerita itu. Mama dan Papa tidak pernah berceritabahwa aku dulu hampir diberi nama Selena. ”Ra tidak membuat masalah di sekolah, bukan?” Mama menolehkepadaku, sedikit cemas. Miss Keriting menggeleng. ”Ra murid yang baik. Kalian akan banggamemiliki anak dengan bakat hebat seperti dia. Satu-satunya masalahyang pernah Ra buat hanya lupa membawa buku PR-nya. Tapi siapa pulayang tidak pernah lupa?” ”Oh, syukurlah.” Mama memeluk bahuku. ”Saya pikir Ra mem­buatmasalah. Oh iya, silakan duduk.” Mama menoleh lagi ke­pada­ku. ”Ra,tolong bikinkan minum, ya. Biar Mama yang menemani Ibu Selena.” Aku mengangguk, tapi Miss Keriting menahan gerakan tangan­ku. ”Saya hanya sebentar. Waktu saya amat terbatas, dan tidak leluasa,karena itulah dari sekolah saya bergegas menemui Ra.” Suara MissKeriting terdengar lugas. Dia mengambil sebuah buku dari tas jinjingberwarna gelapnya. ”Nah, Ra, ini buku PR mate­matika­mu yang kamukumpulkan tadi pagi. Sudah Ibu periksa. Meski lebih sering kesulitan,kamu selalu berusaha me­ngerjakan tugas dengan baik. Saran Ibu, apapun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yanghilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekalijawab­an dari tempat-tempat yang hilang. Kamu akan memper­olehsemua jawaban. Masa lalu, hari ini, juga masa depan.” Aku menatap Miss Keriting dengan bingung. Bukan saja bingungdengan kalimat terakhirnya yang begitu misterius, tapi bingung kenapaMiss Keriting sendiri yang mengantarkan buku PR matematikaku kerumah. Sore ini? Mendadak sekali? Kenapa tidak besok pagi? Di sekolah? ”Saya harus bergegas, Bu. Mengejar waktu dan dikejar waktu.” MissKeriting mengulurkan tangan kepada Mama, hendak ber­pamitan. ”Sekalilagi, saya minta maaf kalau mengganggu. Saya sungguh merasatersanjung Ibu dulu hampir memberikan nama itu kepada Ra. Selena. Ibubenar, itu artinya bulan. Bagi bangsa tertentu, artinya bahkan lebih dari “Bumi” 70sekadar bulan yang indah’, tapi juga pemberi petunjuk, penjaga warisan,benteng terakhir.” Eh? Mama menelan ludah, lebih bingung lagi menatap wajah MissKeriting yang tersenyum cemerlang. Ragu-ragu, Mama ikut menerimauluran tangan Miss Keriting. ”Selamat sore, Bu.” Miss Keriting mengangguk, melepas jabattangan. ”Dan kamu, Ra, jangan lupa baca buku PR-mu,” ujar MissKeriting sambil mengedipkan mata, tersenyum. Sedetik, tubuh tinggiramping Miss Keriting sudah melangkah ke pintu, mengenakan sepatu,tanpa membungkuk sedikit pun. Aku seketika teringat sesuatu saat melihat gayanya membalikbadan dan memakai sepatunya. Itu kan persis sekali dengan cara pemaindrama Korea dengan latar belakang cerita bangsawan yang sering ditontonSeli bedanya tentu saja Miss Keriting tidak sedang berakting, dan diamelakukannya seperti memang dia adalah golongan itu. Terlihat anggun,cekatan. Lima detik, Miss Keriting sudah berjalan cepat di sepanjanghalaman rumput. Suara ketukan sepatunya terdengar pelan, ber­ dan Mama ikut mengantar ke depan, masih belum mengerti—dantidak sempat bertanya—menatap punggungnya. Miss Keriting menaikimobil berwarna gelap yang terparkir rapi di depan gerbang, melambaikantangan. Jendela kaca mobil lantas naik menutup. Mobil bergerak maju,dengan cepat hilang di kelokan jalan. “Bumi” 71 URUMU berbeda sekali, Ra.” Mama masih berdiri di depanrumah. Aku menoleh, melihat Mama yang masih menatap jalanan. ”Bedaapanya, Ma?” ”Zaman Mama dulu sih masih ada guru seperti itu, rajinmengunjungi rumah muridnya, bertanya ke orangtua, bicara tentangkemajuan kami. Tetapi sekarang murid kan ribuan, itu tidak mudahdilakukan. Belum lagi kesibukan-kesibukan lain.” Aku mengangkat bahu. Sebenarnya, aku belum mengerti kenapaMiss Keriting sengaja datang mengantarkan buku PR matematika. Akubalik kanan, masuk ke dalam rumah.”Seli jadi datang, Ra?” Mama ikut melangkah masuk. Bel pagar berbunyi nyaring sebelum aku menjawab. Aku dan Mamamenoleh. Panjang umur, teman satu mejaku itu sudah berdiri di gerbang,melambaikan tangan. Aku tersenyum, yang ditunggu datang juga, berlari-lari kecil ke pagar. ”Ra...!” Begitu masuk, Seli langsung memegang lenganku. ”Tadi ituMiss Keriting, kan?” Seli berseru, menatapku pe­nasa­r­an setengah mati.”Iya, pasti Miss Keriting. Aku melihatnya naik mobil pas aku turun dariangkot. Sekilas, tapi aku yakin sekali. Miss Keriting, kan?”Aku mengangguk, berjalan melintasi halaman rumput.”Aha. Tebakanku tepat. Eh, Ra, kenapa dia ke sini?” Aku menjawab pendek, ”Mengantarkan buku PR.” Aku mengangkatbuku PR-ku, memperlihatkannya pada Seli. ”Buku PR? Memangnya kenapa dengan buku PR-mu?” Seli tidakmengerti, menatap buku PR-ku seperti sedang me­natap buku mantra “Bumi” 72sakti atau menatap buku diary penuh rahasia dalam drama Korea yangsering ditontonnya. ”Tidak tahu.” ”Ini sungguhan buku PR-mu, kan?” ”Ya iyalah.” Aku tertawa. ”Tidak usah di­pelototi. Nanti ter­bakar.” ”Dia tidak bicara sesuatu, kan? Maksudku, kamu tidak kenapa-kenapa, kan? Seharusnya kan guru BP yang datang kalau kamu kenapa-napa, kan ya? Eh?” ”Cuma mengantarkan buku PR, Seli.” Aku mengangkat bahu,mengembuskan napas. ”Tidak ada yang lain. Aku juga tidak tahu kenapadia harus mengantarkannya langsung. Jangan-jangan habis darirumahku, dia ke rumahmu, mengantarkan buku PR berikutnya.” ”Jangan bergurau, ah.” Seli masih melotot. ”Siapa yang bergurau?” Aku nyengir lebar. ”Aku serius nih, Ra, kenapa Miss Keriting ke sini? Jangan-jangankamu merahasiakan sesuatu, ya?” Seli menyelidik, ingin tahu—sudahmirip kelakuan Ali. ”Kalian mau minum apa?” Suara Mama memotong bisik-bisik Seli.”Mau Mama buatkan pisang cokelat dan jus buah?” ”Eh, selamat siang, Tante.” Seli menoleh, buru-buru meng­angguk,lupa belum menyapa tuan rumah, padahal sudah sejak tadi rusuh masukke ruang tamu. ”Apa saja, Tante, asal jangan me­repotkan.” Mama tersenyum. ”Tidak merepotkan kok.” ”Apa saja, Ma. Asal yang banyak. Soalnya Seli suka makan.” Akutertawa, menambahkan. Seli menyikut lenganku. Sebal. Mama ikut tertawa. ”Nah, selamat belajar ya. Mama ke bela­kangdulu.” “Bumi” 73 Kami berdua mengangguk. Tetapi lima belas menit berlalu, jangankan mengerjakan PR,membuka buku bahasa Indonesia pun tidak. Seli lebih tertarik danmemaksa ingin tahu kenapa Miss Keriting datang ke ru­mahku. Aku maujawab apa, coba? Seli bahkan memeriksa buku PR-ku, penasaran, apaistimewanya buku PR itu hingga diantar lang­sung Miss Keriting. Limamenit sibuk memeriksa, Seli menyerah­kan lagi buku itu sambil menghelanapas kecewa. ”Tidak ada apa-apanya. Sama saja dengan buku PR-ku,malah nilainya lebih bagus punyaku. Kenapa sih Miss Keriting kerumahmu, Ra?” ”Aku tidak tahu.” Aku melotot, bosan memegang buku bahasaIndonesia yang sejak tadi tidak kunjung dibuka. ”Atau begini saja, besokkamu tanyakan ke dia langsung. Kan jadi jelas. Nanti aku temani.” Seli memajukan bibirnya, lagi-lagi hendak berkomentar sesuatu,tapi suara bel gerbang depan sudah berbunyi nyaring. ”Biar Mama yang buka, Ra.” Suara Mama terdengar dari dalam.”Kalian belajar saja.” Aku tertawa. Apanya yang belajar? Aku beranjak berdiri. Seli jugaikut berdiri, mengikutiku ke depan hendak membuka gerbang. Duakaryawan toko elektronik terlihat sedang repot menurunkan boks besardari mobil. ”Ma, mesin cucinya datang!” aku berteriak dari halaman. Sekitar lima belas menit kami menonton Mama mengomelikaryawan yang sibuk bolak-balik menukar mesin cuci baru, meng­ujicoba mesin cucinya, memastikan kali ini tidak ada masa­lah. Merekaterlihat serbasalah, mengangguk-angguk mendengar omelan Mama. ”Ternyata mamamu sama seperti mamaku, Ra,” Seli toko elektornik itu untuk kesekian kali minta maaf,membungkuk, hendak berpamitan. ”Apanya yang sama?” Aku menoleh ke Seli. Kami masih berdirimenonton. ”Galak! Kasihan karyawan tokonya,” Seli bergumam pelan. “Bumi” 74 Aku tertawa, tidak berkomentar, memperhatikan karyawan tokoyang akhirnya bernapas lega, buru-buru menaiki mobil, lantas cepatmengemudikan mobil, hilang di kelokan jalan. Setidaknya, selingan menonton mesin cuci baru ditukar mem­buatrasa penasaran Seli tentang Miss Keriting berkurang ba­nyak. Kami bisamulai mengerjakan PR bahasa Indonesia, mem­buat karangan denganjenis persuasif sebanyak dua ribu kata. Apalagi saat minuman danmakanan diantar Mama, Seli me­mutuskan melupakan Miss Keriting. Sayangnya, baru pukul setengah empat, kami baru sepertiga jalanmengerjakan PR, bel gerbang depan berbunyi lagi. Nyaring. Akumendongak, mengangkat kepala. Alangkah banyaknya orang yangbertamu ke rumah kami hari ini. Ini sudah keempat kali­nya. Seli disebelahku masih asyik menuliskan karangannya. ”Biar Mama yang buka, Ra.” Mama yang sedang santai me­nontondi ruang tengah sudah beranjak lebih dulu ke depan. Aku kembalimenatap buku PR-ku. Paling juga tetangga sebelah, perlu sesuatu. Atautukang meteran listrik, PAM. Atau pedagang keliling. ”Selamat siang, Tante.” Eh, aku mendongak lagi. Suara itu khas sekali terdengar—meskijaraknya masih sepuluh meter dari ruang tamu. Suara yang menyebalkan,aku kenal. Mama menjawab salam. ”Ra ada, Tante?” Mama mengangguk, lalu bertanya, ”Ini siapa ya?” ”Saya teman sekelas Ra, mau ikutan mengerjakan PR bahasaIndonesia.” Aku langsung meloncat dari posisi nyaman menulis. Seli yang kagetikut meloncat, tanpa sengaja mencoret buku PR-nya, me­natapku sebal.”Ada apa sih, Ra?” Aku tidak menjawab. Aku sudah bergegas ke depan rumah. Seliikutan keluar rumah. Sial! Lihatlah, Mama bersama tamu keempat soreini, Ali si biang keerok, berjalan menuju kami. “Bumi” 75 ”Katanya hanya Seli yang datang, Ra?” Mama mengedipkan mata.”Kamu tidak bilang-bilang akan ada teman sekelas yang lain?” Aduh. Aku seketika mematung melihat Ali. Lihatlah, si biang kerokitu bersopan santun sempurna, berpakaian rapi. Ya ampun, rapi sekalidia. Berkemeja lengan panjang, bercelana kain, berikat pinggang,bersepatu, bahkan aku lupa kapan terakhir kali melihat rambutnya disisirrapi, terlihat lurus, hitam legam, dan tersenyum seperti remaja palingtahu etika sedunia. ”Selamat sore, Ra. Selamat sore, Seli. Maaf akuterlambat.” Bahkan Seli, kali ini pun ikut mematung, menatap Ali yang seratusdelapan puluh derajat berubah tampilan, di halaman rumput, di bawahcahaya matahari sore yang mulai lembut. “Bumi” 76 NI akan jadi momen paling ganjil sejak aku remaja. Aku melotot,hendak mengusir Ali dari halaman rumah. Di sam­pingku Seli bengongmelihat penampilan Ali yang berubah, susah membedakannya denganpemain drama Korea favoritnya. Sementara Ali tersenyum lebar seolahtidak ada masalah sama sekali, seolah aku dan Seli memang habisbercakap sebal karena Ali tidak kunjung datang untuk belajar bareng. ”Ra, Seli, kenapa kalian malah bengong di situ?” Mama yang tidakmemperhatikan, telanjur masuk ke ruang tamu, menoleh, kepalanyamuncul dari bingkai pintu. ”Ayo, ajak temanmu ma­suk. Ayo, Nak Ali,masuk.” Sebelum aku bereaksi atas tawaran Mama—misalnya denganmencak-mencak mengusir Ali, anak itu mengangguk amat sopan, pura-pura malu melangkah ke teras. ”Anggap saja rumah sendiri, ya.” Mama tersenyum. ”Iya, Tante.” Ali mengangguk lagi. Aku benar-benar kehabisan kata. Aduh, kenapa Mama ramah sekalipada si biang kerok itu? Aku menyikut Seli, menyadar­kan ekspresi wajahSeli yang berlebihan, mengeluh kenapa Seli juga ikut tertipu dengantampilan baru Ali. Aku bergegas ikut melangkah masuk ke ruang tamu. ”Nak Ali mau minum apa?” ”Nggak usah, Tante. Nanti merepotkan.” ”Tentu saja tidak. Tunggu sebentar ya, Tante siapkan di dapur.” Belum sempurna hilang punggung Mama dari bingkai pintu, akusudah loncat, mencengkeram lengan baju Ali. ”Kamu, ke­napa kamudatang, hah? Tidak ada yang mengajakmu belajar bareng?” Ali hanya nyengir. ”Aku datang baik-baik lho, Ra.” “Bumi” 77 ”Bohong! Kamu pasti ada maunya,” aku berseru ketus. ”Eh, iya dong. Tentu saja ada maunya.” Ali menatapku, ter­senyum.”Maunya adalah belajar bareng. Minta diajari me­ngarang jenis kan yang paling pintar soal bahasa Indo­nesia.” ”Bohong! Kamu pasti sedang menyelidiki sesuatu.” Ali mengangkat bahu, wajahnya seolah bingung. Dia menoleh keSeli—yang serius menonton kami bertengkar. Jangan-jangan Seli berpikirada adegan drama Korea live di depannya. Aku menelan ludah. Cengkeraman tanganku mengendur. Aku tidakmungkin menuduh Ali sengaja datang untuk menyelidiki apakah aku bisamenghilang atau tidak. Ada Seli di ruang tamu, urusan bisa tambahkacau. ”Karanganmu sudah berapa kata, Sel?” Mengabaikanku, Aliberanjak mendekati Seli. ”Boleh aku lihat?” Ali menunjuk buku PR Seli. ”Eh, silakan,” Seli nyengir, ”tapi nggak bagus kok. Baru tigaparagraf.” Aku menepuk dahi. Nah, sejak kapan pula Seli jadi ikutan ramahpada Ali? Bukannya kemarin dia marah-marah karena ditabrak Ali dianak tangga? ”Wah, ini bagus sekali, Sel.” Ali membaca sejenak. ”Oh ya?” Aku menyikut lengan Seli, mengingatkan dia sedang ber­cakap-cakap dengan siapa. ”Sebenarnya bagusan karangan Ra. Tadi aku juga dikasih idetulisan sama dia.” Seli tidak merasa aku menyikutnya. Dia malahmenunjuk buku PR milikku di ujung meja. ”Boleh aku lihat karanganmu, Ra?” Ali menoleh padaku. “Bumi” 78 ”Enak saja. Nggak boleh.” Aku bergegas hendak menyambar bukuPR-ku. ”Nah, satu gelas jus buah tiba.” Mama lebih dulu masuk ke ruangtamu, menghentikan gerakan tanganku. ”Silakan, Nak Ali. Jangan malu-malu.” ”Terima kasih, Tante.” Ali menerima minuman sambil ter­senyumsantun. ”Ra tidak pernah cerita punya teman laki-laki di se­kolah.” Mamaduduk sebentar, bergabung, seolah ikut punya PR bahasa Indonesia—tepatnya Mama sengaja menggodaku. ”Mereka berdua tidak temanan, Tante,” Seli yang menjawab,tertawa. ”Tidak temanan?” Mama menatapku dan Ali bergantian. ”Di sekolah mereka lebih sering bertengkar.” ”Oh ya?” Mama ikut tertawa. Sore itu berakhir menyebalkan. Selama satu jam kemudian akuterpaksa mengalah, membiarkan Ali mengeluarkan buku dari tasnya, ikutmengerjakan PR di ruang tamu. Sebenarnya, terlepas dari mendadaknya,tidak ada yang aneh dari kedatangan Ali. Dia sungguh-sungguhmengerjakan PR mengarang. Seli membantu menjelaskan ide tulisan—seperti yang aku jelaskan kepada Seli. Ali mengarang dengan serius. Setengah jam kemudian Ali minta izin ke toilet. Karena Mamasedang memakai kamar mandi bawah, aku ketus menyuruh­nya naik kelantai atas. Ada toilet di sebelah kamar­ku. ”Kamu memang mengajak Ali belajar bareng, Ra?” Seli ber­bisik,saat kami tinggal berdua. ”Tidak,” aku menjawab ke­tus. ”Kok dia tahu kita belajar bareng?” “Bumi” 79 ”Mana aku tahu.” Aku melotot ke Seli, menyuruh diame­nyelesai­kan karangannya. Tidak usah membahas hal lain. Selinyengir, balik lagi ke buku PR. Hening sejenak. ”Gwi yeo wun, Ra,” Seli berbisik lagi. ”Apanya yang yeo wun?” Aku sebal menatap Seli—sejakke­datangan Ali, aku mudah sebal pada siapa saja. ”Benar kan yang kubilang, Ra.” Seli tersenyum lebar, matanyabekerjap-kerjap. ”Ali itu aslinya cute, gwi yeo wun. Dengan pakai­an rapi,rambut disisir lurus, eh—” ”Kamu mau menyelesaikan PR atau tidak? Sudah hampir jam lima,tahu.” ”Eh, iya-iya, ini juga lagi diselesaikan.” Seli kembali ke buku. ”Kamukenapa pula sensitif sekali, jadi mudah marah.” Pukul setengah enam, Ali dan Seli pamit. Mama mengantar kehalaman, bilang hati-hati di jalan. Aku masuk ke rumah setelah merekanaik angkutan umum. Segera kubereskan piring dan gelas. ”Ternyata...” Wajah Mama terlihat menahan tawa, melangkah kedapur. ”Kalau Mama mau menggoda Ra, tidak lucu, Ma.” Aku cem­berutgalak. ”Dia yang membuat kamu malu punya jerawat di jidat.” Mama tetaptertawa. ”Dia tampan dan sopan sekali lho, Ra. Pantas saja.” Aku hampir menjatuhkan piring. Pantas apanya? *** Sore berlalu dengan cepat. Gerimis turun membungkus kota saatlampu mulai dinyalakan satu per satu. Awan hitam ber­gelung memenuhisetiap jengkal langit. Kilau tajam petir dan gelegar guntur menghiasi awalmalam. “Bumi” 80 Pukul tujuh, aku makan malam sesuai jadwal. Mamame­nemani­ku—hanya menemani. ”Mama makannya nunggu Papapulang, Ra.” Aku mengangguk, mengerti. Pukul delapan, gerimis berubah menjadi hujan deras. Aku duduk diruang keluarga, malas belajar. Daripada di kamar sibuk memencetjerawat, kuputuskan membaca novel saja, menemani Mama yangmenonton televisi. Sialnya, tetap saja aku refleks me­megang-megangjerawat sambil membaca. Urusan jerawat selalu begitu, semakin berusahadilupakan, semakin sering aku mengingatnya. Aku mengeluh dalam hati,hampir bertanya untuk kesekian kalinya kepada Mama, apa obat mujarabjerawat, tapi kemudian aku mengurungkannya. Nanti Mama jadi punyaamunisi kembali menggodaku. ”Ma, Papa sudah telepon lagi atau belum?” ”Sudah,” Mama menjawab pendek. ”Papa bilang pulang jam berapa?” Aku memperbaiki posisi duduk,membiarkan si Putih meringkuk manja di ujung kakiku. Bulu tebalnyaterasa hangat. ”Sampai urusan di kantor selesai, Ra. Belum tahu persisnya.” Mamamenghela napas tipis, berusaha terdengar biasa-biasa saja. Aku manggut-manggut, tidak bertanya lagi. Kembali kubaca novel, tangan kiriku jugakembali memegang-megang jidat. Pukul sembilan, hujan deras mereda. Mama menyuruhku tidurlebih dulu. Aku mengangguk, sudah waktuku masuk kamar. Baiklah, akumenutup novel yang kubaca. Si Putih ikut bangun, berlari-lari menaikianak tangga. Meski sudah masuk kamar, aku tidak bisa segera tidur sepertimalam sebelumnya. Banyak yang kupikirkan. Lewat tirai jendela, kutatapkerlap-kerlip lampu di antara jutaan tetes air. Aku menghela napas,semoga Papa baik-baik saja di kantor, urusan hari ini lebih aku memegang jidat. Si Putih mengeong, naik ke atas tempat tidur. Aku menoleh. ”Kamutidur duluan saja, Put. Aku belum mengantuk.” Aku kembali mengintip “Bumi” 81lewat sela-sela tirai jendela. Semoga si Hitam, di mana pun dia minggatsekarang, juga baik-baik saja. Hujan deras seperti ini, semoga diamenemukan loteng kering untuk tidur. Sudah dua hari kucingku itu tidakpulang. Aku refleks memegang jidatku. Aku juga memeriksa buku PR matematika dari Miss Keriting, dudukdi atas kasur. Lima menit sibuk membolak-balik halaman, tidak ada yangistimewa, hanya buku PR-ku seperti biasa. Aku mengingat-ingat pesanMiss Keriting, apa dia bilang? Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidakseperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap sepertiyang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yanghilang. Entahlah. Kalimat itu aneh sekali. Hujan di luar semakin deras. Aku hendak memasukkan buku­kukembali ke dalam tas, tapi sepertinya tasku ketinggalan di ruang televisi. Ah, rasanya malas turun mengambil tas. Jadi aku beranjak, dudukdi kursi belajar, menatap cermin besar, memperhatikan besar sekali—merah, dengan bintik putih tipis. Aku mematut-matut beberapa menit, akhirnya gemas me­mencetnya. Tidak meletus,hanya menyisakan sakit dan semakin merah di sekitarnya. Aku mengeluhdalam hati, menyesal sudah memencetnya. Pukul sepuluh, langit gelap kembali menumpahkan hujan. Le­bihderas daripada sebelumnya. Kilau petir membuat berkas cahaya di dalamkamar, guntur terdengar menggelegar. Aku masih termangu menatapjidatku, sudah tiga kali memencet jerawat­ku. Aku menyesal, kupencetlagi, menyesal lagi. Begitu-begitu saja, tambah geregetan. Kenapa pula jerawat ini datang pada waktu yang tidak tepat? Susahsekali membuatnya meletus. Aku menatap cermin dengan kesal. Kenapaaku tidak bisa membuatnya menghilang seperti saat aku membuattubuhku menghilang dengan menempelkan telapak tangan di wajah?Telunjukku geregetan terus menekan-nekan. Atau aku bisa membuatnyamenghilang seperti itu? Aku menelan ludah. Kenapa tidak? Apa susahnyamembuat jerawat batu ini hilang? Jangan-jangan, aku bisa menyuruhnyameng­hilang. Telunjukku terangkat, sedikit gemetar menunjuk jerawatitu. “Bumi” 82 Saat telunjukku terarah sempurna ke jerawat, aku bergumam,”Menghilanglah,” dan kilau petir menyambar begitu terang di luarke­laziman. Suara guntur bahkan terdengar lebih cepat daripadabiasa­nya, berdentum kencang. Aku hampir terjatuh dari kursi, me­nutupmulut karena hampir berseru. Lihatlah! Jerawat di jidatku sungguhanhilang. Aku sedikit gemetar memastikan, berdiri, mendekatkan wajah kecermin. Benar-benar hilang. Aku hampir bersorak senang, se­belumsesuatu menghentikannya. ”Halo, Gadis Kecil.” Sosok tinggi kurus itu telah berdiri di dalamcermin, menatapku lamat-lamat dengan mata hitam meme­sona­. Kali iniaku benar-benar terjatuh dari kursi. Kaget. Apa yang barusan kulihat? Sosok itu? Aku bergegas berdiri, refleksmenoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa berdiri di dalam aku menoleh ke cermin, sosok tinggi kurus itu masih ada disana, tersenyum. Matanya menatap me­mesona. ”Kamu sepertinya baru saja berhasil menghilangkan sebuahjerawat, Nak. Selamat.” “Bumi” 83 IAPA kamu?” aku berseru dengan suara bergetar bukankarena takut, lebih karena kaget setengah mati melihat ada sosok yangtiba-tiba berdiri di dalam cermin besar. Ini bukan imajinasiku. Ini nyata, senyata aku berusahame­ngendalikan napas. Jantungku berdetak amat kencang. Sosok itubenar-benar ada di dalam cermin besar, hanya di dalam cermin, tanpaada fisiknya di kamarku. Perawakannya tinggi dan kurus. Wajahnya mengerucut. Rambutnya meranggas. Bola matanya hitampekat. Dia mengenakan—aku tidak tahu, apa­kah itu pakaian atau bukankain yang seolah melekat ke tubuhnya, berwarna gelap. Sejenak tersengal menatap sosok itu, aku melompat. Tangankurefleks menyambar apa saja di atas kasur, mencari senjata, danmengeluh, karena yang ada hanyalah novel tebal. Sementara suara hujanderas di luar semakin keras, membuat keributan di kamar tidak terdengarhingga ruang tengah, tempat Mama sedang menonton televisi—menungguPapa pulang. Kilau petir dan gelegar guntur susul-menyusul. Napaskumenderu kencang. ”Siapa kamu?” aku berseru, suaraku serak. ”Aku siapa?” Suara sosok itu terdengar seperti mengambang dilangit-langit kamar, seolah dia bicara dari sisi kamar mana pun, bukandari dalam cermin. ”Kalau mau, kamu bisa me­manggilku Teman’, Nak.” Aku menggeleng, beringsut menjaga jarak. Mataku menyelidiksetiap kemungkinan. Tanganku bergetar mencengkeram novel. Kalausosok ganjil ini tiba-tiba menyerangku, akan kupecahkan cerminnyadengan novel tebal di tanganku—dan semoga dia tidak justru keluar daricemin pecah itu, malah bisa berdiri nyata di tengah kamarku. ”Kamu mau apa? Kenapa kamu ada di dalam cerminku?” akuberseru, bertanya, terus berhitung dengan posisiku. “Bumi” 84 Sosok itu tidak langsung menjawab. Diam sejenak lima be­las si Putih meringkuk tidur, tidak ter­ganggu de­ngan segalakeributan. Menyisakan aku dan sosok tinggi ku­rus di dalam cerminsaling tatap dengan pikiran masing-masing. ”Ini menarik, Nak.” Sosok itu akhirnya bersuara setelahme­natap­ku lamat-lamat. ”Kebanyakan orang dewasa menjeritke­takutan melihat cermin di hadapannya yang tiba-tiba berisi bayanganorang lain. Ini menarik sekali, rasa penasaran yang kamu miliki ternyatalebih besar dibanding rasa takut. Rasa ingin tahu yang kamu milikibahkan lebih besar dibanding me­mikirkan risikonya. Aku siapa? Kamuselalu bisa memanggilku Teman’. Apa mauku? Apa lagi selainmenemuimu?” Aku menggeleng, memutuskan tidak mudah percaya, berjaga-jagakalau ada sesuatu yang mencurigakan. Tanganku semakin dekat untukmelemparkan novel tebal ke arah cermin. Sosok tinggi kurus itu mengangguk. ”Baik, kamu benar, akumungkin bukan teman. Tidak ada teman yang datang lewat cermin,bukan? Membuat semua akal sehat terbalik. Siapa pula yang akan rianggembira saat sedang menatap cermin tiba-tiba ada sosok lain didalamnya. Sayangnya, kita tidak leluasa ber­temu. Belajar daripengalaman dua hari lalu, kini aku tidak bisa berharap kamu akanbersedia menangkungkan telapak tanganmu ke wajah, bukan? Mengintipdari sela jari agar aku bisa terlihat berdiri di kamar ini. Kamu pasti tidakmau melaku­kannya.” Angin kencang yang menyertai hujan di luar membuat tetes airmenerpa jendela kaca. Aku tetap berusaha konsentrasi me­natap sosoktinggi kurus di dalam cermin. ”Sayangnya ini pertama kali kita berbicara. Kamu belum siapmendengar penjelasan, Gadis Kecil. Sebesar apa pun bakat yang kamumiliki sekarang, kamu belum siap. Jadi aku tidak akan lama. Dua harilalu, amat mengejutkan ternyata kamu bisa me­lihatku, tapi kupikir itukebetulan. Malam ini, kamu mampu melakukan hal yang lebih menarik,berhasil menghilangkan jerawat di wajah, karena itu aku memutuskansudah saatnya menyapa.” “Bumi” 85 Sosok tinggi kurus itu diam sejenak, mengembuskan napas. Diasungguh nyata. Lihatlah, cerminku berembun oleh napasnya yang hangat. ”Kamu pasti punya banyak pertanyaan, Nak.” Sosok itumeng­hapus embun di cermin dengan jari-jarinya yang kurus danpanjang. ”Tapi malam ini aku tidak akan menjawabnya. Aku pernahmelakukan kesalahan dengan terlalu banyak menjelaskan.” Gerakantangannya terhenti. Mata hitamnya menatap tajam ke arah lain. Aku tahu apa yang didengar sosok di dalam cermin. Aku jugamendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Papa sudah pulang. ”Ingat baik-baik yang akan kusampaikan, Gadis Kecil.” Diamenatapku tajam. ”Peraturan pertama, jangan pernah memercayai siapapun. Teman dekat, kerabat, orangtua, siapa pun. Aku tidak akanmengajarimu agar tidak bercerita ke orang lain, lima belas tahun kamuberhasil menyimpan rahasia sendirian. Itu tidak pernah terjadisebelumnya. Jadi, kita hilangkan saja peraturan kedua.” Sosok tinggi itudiam sejenak, kembali menatap tajam ke arah lain. Suara percakapan Papa dan Mama di ruang tengah terdengarsayup-sayup di antara suara hujan. Papa menanyakan apakah aku sudahtidur atau belum. ”Ingat baik-baik peraturan tersebut. Sekali bercerita kepada oranglain, kamu bisa membuat semua menjadi di luar kendali. Semua bakatbesar itu akan berubah melawan dirimu sendiri, dan membahayakanorang-orang yang kamu sayangi.” Mata hitam itu menyapu seluruhtubuhku. Aku menelan ludah, tidak semua kalimat sosok di dalam cermin itubisa aku mengerti. Jemariku semakin bergetar men­cengkeram noveltebal. ”Apa yang kamu inginkan dariku?” Sosok tinggi kurus itu mengangguk. ”Kamu memiliki bakat hebat,Nak. Kamu tidak hanya bisa menghilang dengan me­nangkupkan keduatelapak tangan ke wajah. Kamu bisa melaku­kan lebih dari sekadarmengintip orang dari sela jari. Kita akan segera melihatnya, apa­kahhanya kebetulan kamu bisa meng­hilangkan jerawat atau lebih dari tebal yang kamu pegang, itu tugas pertama, kamu akan “Bumi” 86menghilangkannya dalam waktu dua puluh empat jam ke depan. Akuakan kembali besok malam, memastikan kamu mengerjakan pekerjaan itudengan sungguh-sungguh.” Sosok di dalam cermin lantas perlahan menyingkap pakaian­nya—ternyata itu tidak menempel ke kulit, pakaian di pinggang­nya longgardan menjuntai. Entah dari mana datangnya, dia mengeluarkan kucingberbulu tebal. Aku hampir berseru tertahan, itu si Hitam! Sosok tinggi kurus itu tersenyum tipis. Jarinya yang panjangmengelus kepala kucingku. ”Sejak usia sembilan tahun kamu telahdiawasi, Gadis Kecil. Itu cara terbaik untuk memastikan kamu tidakbersentuhan dengan sisi lain. Tapi dua hari lalu, keber­adaanmudiketahui, itu memicu semua sinyal di empat klan. Kamu bisa membuatpekerjaan ini menjadi mudah atau sulit, tergantung dirimu baik-baik, kamu tidak pernah dimiliki dunia ini, bahkan sejaklahir. Kamu dimiliki dunia lain. Selalu ingat itu.” Aku tidak mendengarkan kalimat berikutnya dari sosok itu denganbaik, aku sedang berseru tanpa suara. Astaga, aku sungguh tidak percayaapa yang kulihat. Itu kucingku, si Hitam, ber­ada di pangkuan sosok yangberada dalam cermin. ”Nah, saatnya mulai berlatih, Nak.” Sosok tinggi kurus itu menepukpelan kucing di pangkuannya, lalu berbisik, ”Kamu temani dia.” Dengansuara meong yang amat kukenal, si Hitam lompat dari tangannya,menembus cermin, mendarat di meja be­lajarku. Aku tertegun. Si Hitamsudah meloncat ke lantai, lang­sung me­nuju kakiku, seperti biasa,hendak antusias me­nyundul-nyundul­kan kepalanya ke betisku. Aku terkesiap. Entah harus melakukan apa. Kakiku bergetar saatdisentuh bulu lembut si Hitam. Apa yang baru saja kulihat? Kucingkumenembus cermin? Aku menatap si Hitam yang manja berada di antarakakiku. Jadi, kucingku ini nyata atau bukan? Atau pertanyaannyaadalah, ini kucingku atau bukan? Apa yang dikatakan sosok tinggi kurusitu? Aku telah diawasi sejak lama? “Bumi” 87 Kilau petir menyambar terang, aku mengangkat kepala, menatap kedepan. Cermin itu hanya memantulkan bayanganku sekarang, tinggi kurus itu telah pergi. “Bumi” 88 ELAMAT pagi, Ra.” Mama sedang menggoreng sosis saat akumenuruni anak tangga. Mama tertawa kecil. ”Wah, ini rekor baru kamubangun pagi. Jam segini malah sudah siap be­rangkat sekolah.” ”Pagi, Ma,” aku menjawab pendek, menarik kursi, meletakkan tas. ”Tidur nyenyak, Ra?” Perhatian Mama kembali ke wajan, ti­dakmenunggu jawabanku. ”Hujan deras semalaman selalu bikin nyenyaktidur lho.” Aku menghela napas pelan, menatap punggung Mama yang asyikmeneruskan menyiapkan sarapan. Sebenarnya aku tidak bisa tidur tadimalam. Siapa yang bisa tidur nyenyak setelah tiba-tiba ada sosok tinggikurus berdiri di dalam cermin kamar kalian? Bicara panjang lebar tentanghal-hal yang tidak aku mengerti, penuh misteri. Belum lagi si Hitam. Itu yang paling susah membuatku ti­dur—tidak peduli seberapa manjur suara hujan mampu me­nina­ kalian akan tidur jika di atas kasur me­ringkuk kucingkesayangan kalian, yang ternyata selama ini tidak terlihat oleh siapa pun,yang ternyata bisa menembus cermin. Dan itu belum cukup—kucing ituternyata juga memata-matai kalian se­lama enam tahun terakhir! Itumimpi buruk yang nyata. Meski­pun si Hitam sebenarnya terlihat biasa-biasa saja, dia me­natapku dengan bola mata bundar bercahaya, manjamenempel­kan badan­nya yang berbulu tebal ke betis, meringkuk tidur. Setengah jam sejak sosok tinggi kurus itu pergi, situasi ganjil dikamarku masih tersisa pekat. Aku menatap si Hitam dengan kepala sesakoleh pikiran. Sikapku jelas berbeda kalau si Hitam hanya minggat karenanaksir kucing tetangga. Ta­ngan­ku gemetar berusaha menyentuh kepalasi Hitam. Kucing itu mengeong, me­natapku, sama persis seperti kelakuankucing ke­sayanganku selama ini. Aku terdiam. Lihatlah, si Hitam amatnyata, sama nyata­nya dengan si Putih yang sejak tadi terus tidur, tidakmerasa terganggu dengan keributan. Aku meng­gigit bibir. Bagai­manamungkin si Hitam ”makhluk lain”? Bagaimana mungkin matanya yang “Bumi” 89indah itu ternyata meng­awasi­ku selama ini? Bagai­mana mungkin diakucing paling aneh sedunia, bukan hanya karena tidak ada yangmelihatnya, tapi boleh jadi dia juga punya rencana-rencana di kepada dunia lain? ”Lho, Ra, kok malah melamun?” Mama menumpahkan sosis gorengke piring di atas meja. ”Pagi-pagi sudah melamun. Itu tidak baik untukanak gadis.” Aku menggeleng, tersenyum kecut. ”Papa semalam baru pulang jam sepuluh. Larut sekali.” Mamamemberitahuku—yang aku juga sudah tahu. ”Pekerjaan kantor Papasemakin menumpuk. Seperti biasa, sibuk berat.” Hanya itu penjelasanMama. Aku mengangguk. ”Mama senang, dua hari terakhir kamu selalu siap sekolah sebelumPapa berangkat. Jadi Mama tidak perlu teriak-teriak membangunkanmu.”Mama menatapku, tersenyum, tangannya masih memegang wajan kosong.”Kita semua harus mendukung Papa pada masa-masa sibuknya.” ”Iya, Ma,” aku menjawab pendek. ”Kamu mau sarapan duluan?” ”Nanti saja, Ma. Tunggu Papa turun.” Mama mengangguk, kembali ke kompor gas, melanjutkan aktivitasmasak-memasaknya. Aku menatap lamat-lamat piring berisi sosis di hadapanku,mengembuskan napas pelan. Tadi malam, berkali-kali aku menatap si Hitam—aku urungmengelus bulu tebalnya, membiarkan dia meringkuk tanpa diganggu. Akuberkali-kali menatap cermin besar, memastikan tidak ada siapa pun lagidi dalamnya yang tiba-tiba menyapa. Aku berkali-kali meletakkan telapaktangan di wajah, mengintip dari sela jemari, siapa tahu sosok tinggi kurusitu ada di dalam kamarku, hanya kosong, tetap tidak ada siapa-siapa. “Bumi” 90Bahkan aku yang bosan tidak bisa tidur-tidur juga akhirnya memutuskanberanjak duduk. Teringat percakapan dengan sosok itu, aku menatapnovel tebal di atas kasur, menghela napas. Aku berkonsentrasi, berkali-kali menyuruh novel itu menghilang—lima belas menit berlalu, novel tebalitu tetap teronggok bisu. Akhirnya aku menarik selimut lagi, berusaha tidur, hingga jatuhtertidur pukul dua malam. Di luar sana, hujan deras terus menyiramkota. Lampu seluruh kota terlihat kerlap-kerlip oleh tetes air. Iramakonstan air menerpa atap, jalanan, dan pohon. Aku terbangun mendengar kesibukan Mama di dapur. Me­lihat jamdi dinding, pukul lima, rasanya baru sebentar sekali aku tidur. Akumemutuskan turun dari ranjang, memulai aktivitas pagi. Di luar hujan sudah reda, masih gelap, menyisakan halamanrumput yang basah. Si Putih mengeong riang, menyapa. Aku balasmenyapa. ”Pagi, Put.” Tapi tidak ada si Hitam. Kucingku itu jika akumasih bisa menyebutnya ”kucing­ku” tidak terlihat di kamarku. Aku merapikan poni yang berantakan di dahi, menatap cermin,tidak ada hal yang ganjil di dalamnya. Kuperiksa kamar, si Hitam tetaptidak ke­lihatan. Aku menggaruk kepala, sebaik­nya aku mandi danber­siap berangkat sekolah. ”Eh, Ra? Jerawatmu sudah hilang, ya?” Seruan Mama sedikitmengagetkan. Aku mendongak. Entah sejak kapan, Mama sudah berdiri dihadapanku. Tangannya memegang wajan kosong, habis meng­goreng telurdadar. Aku tadi pasti lagi-lagi melamun. ”Wah, benar-benar hilang! Kamu pencet, ya? Tapi kenapa tidak adabekasnya?” Mama tertarik ingin tahu. ”Nggak tahu, Ma. Hilang begitu saja.” ”Hilang begitu saja?” Mama tertawa antusias. ”Wah, ini hebat, dalam satu malam, jerawat sebesar itu sembuh. Kamu kasih obat “Bumi” 91apa sih? Kita bisa buka klinik khusus jerawat lho. Mahal Mama suruh tantemu bantu cari modal. Dia relasinya kan luas.” Aku tersenyum kecut menatap Mama—yang biasa berlebihan kalausedang semangat. Seandainya Mama tahu bahwa jerawatku memanghilang begitu saja saat aku suruh meng­hilang, Mama mungkin akanberteriak panik. Mama tidak pernah suka cerita horor, kejadian penuhmisteri, dan sejenis­nya. ”Pagi, Ra, Ma.” Papa ikut bergabung, menyapa, menghentikankalimat rencana-rencana Mama tentang klinik jerawat. ”Ternyata Papaterakhir yang bergabung ke meja makan. Padahal tadi Papa sudah mandingebut sekali lho.” Aku dan Mama menoleh. Papa sudah rapi. ”Kalian sedang membicarakan apa?” ”Jerawatnya Ra, Pa.” Mama tertawa. ”Oh ya? Ra jerawatan lagi? Seberapa besar?” Papa ikut ter­tawa. Sarapan segera berlangsung dengan trending topic jerawatku. Sempat diseling Papa bertanya soal mesin cuci baru yang diganti,Mama bilang sejauh ini penggantinya tidak bermasalah. Mama jugasempat bilang tentang rencana arisan keluarga minggu depan di diam sejenak, mengangguk. ”Semoga minggu depan Papa sudahtidak terlalu sibuk lagi di kantor, Ma, jadi bisa membantu.” Papamelirikku sekilas. Aku tidak ikut berkomentar. Aku tahu, maksud kalimatPapa sebenarnya adalah semoga masalah mesin pencacah raksasa dipabrik sudah beres. Lima belas menit sarapan usai, aku berpamitan pada Mama, dudukrapi di kursi mobil di samping Papa. Papa mengemudikan mobil melewatijalanan yang masih sepi. Baru pukul enam, itu berarti jangan-jangan akuorang pertama lagi yang tiba di sekolah. ”Bagaimana sekolahmu, Ra?” Papa bertanya, di depan sedanglampu merah. “Bumi” 92 ”Seperti biasa, Pa,” aku menjawab pendek, menatap langitmendung. Ribuan burung layang-layang terbang memenuhi atas kota,sepertinya selama ini aku mengabaikan pemandangan itu. ”Kamu tidak punya sesuatu yang seru yang hendak kamu ceritakankepada Papa?” Papa menoleh, mengedipkan mata, timer lampu merahmasih lama. ”Selain soal jerawat lho.” ”Eh, tidak ada, Pa.” Aku menggeleng. ”Sungguhan tidak ada?” Papa tetap antusias. Aku menggeleng lagi. Aku tahu, Papa sedang mencari topikpembicaraan, lantas memberikan nasihat yang menyambung de­ngantopik itu, menasihati putrinya. Papa kembali memperhatikan ke depan. Aku menatap jalanan daribalik jendela. Teringat percakapan dengan sosok tinggi kurus tadi benar, bertahun-tahun aku mampu me­nyimpan rahasia itu bocor sedikit pun, tidak tem­pias satu tetes pun. Aku tidak pernahmembicarakannya kepada Papa dan Mama. Mereka dengan sendirinyaterbiasa, selalu punya penjelasan sederhana setiap melihat hal ganjil dirumah kami. Aku yang tiba-tiba muncul. Aku yang tiba-tiba tidak ada disekitar mereka. Bahkan tentang kucingku, mereka selalu bilang si Hitamatau si Putih, bukan si Hitam dan si Putih. ”Papa minta maaf ya, Ra.” ”Eh? Minta maaf apa, Pa?” Aku menoleh ke depan. Lampu merahberikutnya. ”Hari-hari ini Papa jadi jarang memperhatikan kamu, meng­ajakngobrol. Tidak ada makan malam bersama. Sarapan juga serba­ cemas, kemungkinan Sabtu-Minggu lusa Papa juga harus lembur dikantor. Rencana weekend kita batal.” Aku mengangguk, soal itu ternyata. ”Tidak apa kok, Pa. Ra demi memenangkan hati pemilik perusahaan.” Papa ikut tertawa pelan. ”Kamu selalu saja pintar menjawab kalimatPapa.” “Bumi” 93 Lampu hijau, iringan kendaraan bergerak maju. Lima belas menit kemudian tiba di gerbang sekolah, akumeng­angkat tas, membuka pintu, berseru, berpamitan. Mobil Papa hilangdi kelokan jalan. Aku menatap lapangan sekolah yang lengang. Langitsemakin mendung. Ribuan burung layang-layang masih ada di atasgedung-gedung kota, terbang menari menanti hujan. Aku menghelanapas, berusaha riang melangkah masuk ke halaman dengan segala kejadian aneh tadi malam, hari ini aku tidakperlu menutupi jidatku. Jerawatku sudah hilang. “Bumi” 94 KU langsung menuju kelasku, kelas X-9. Tiba di kursiku, akumemasukkan tas ke laci meja. Sekolah masih lengang. Di kelas tidak adasiapa-siapa. Tidak ada yang bisa kulakukan ke­cuali melamun aku mengeluarkan novel tebal yang sudah seminggu tidak tamat-tamat kubaca—pe­ngarang yang satu ini novelnya semakin tebal saja,menguras uang jatah bulanan dari Mama. Aku teringat lagi percakapan tadi malam. Aku tidak mau patuhpada sosok tinggi kurus dalam cermin itu. Aku belum tahu dia berniatbaik atau buruk, tapi kalimat-kalimatnya mem­buatku aku memang bisa menghilangkan novel tebal ini—juga benda-benda lain. Aku menatap konsentrasi novel tebal beberapa detik, meng­helanapas, mengarahkan telunjukku, bergumam pelan menyuruh­nyamenghilang. Sedetik. Aku mengembuskan napas. Sama se­perti tadimalam, novel itu tetap teronggok bisu di atas meja. Se­kali lagi akumengulanginya, lebih berkonsentrasi. Tetap saja, jangan­kan hilangseluruhnya, hilang semili pun tidak. Aku me­lempar tatapan ke luar jendela kelas, lengang. Hanya suarape­tugas kebersihan yang sedang menyapu lapangan dari dedaunankering. Aku berkali-kali mencoba, memperbaiki posisi duduk—kalausampai ada yang mengintip, pasti akan aneh melihatku sibuk menunjuk-nunjuk buku tebal. Teman-teman mulai berdatangan, menyapa. Aku mengangguk,tersenyum tipis, memasukkan kembali novel ke dalam tas. Se­tengah jamberlalu, sekolah ramai oleh dengung suara. Beberapa teman duduk didalam kelas dan berdiri di lorong. Anak-anak cowok bermain basket ataubola kaki. Lapangan basah, mereka tidak peduli, bahkan lebih seru, lebihramai tertawa. “Bumi” 95 ”Halo, Ra,” Seli menyapaku. ”Halo, Sel,” aku balas menyapa. ”Kamu datang pagi lagi, ya?” Aku mengangguk. Aku menghitung dalam hati, satu, dua, tiga, danpersis di hitungan ketujuh, Seli yang menatapku sambil memasukkan taske laci meja berseru, ”Eh, Ra? Jerawatmu yang besar itu sudah hilang,ya?” Aku tertawa. Benar kan, tidak akan lebih dari sepuluh hitung­an. ”Beneran hilang, Ra. Kok bisa sih?” Saking tertariknya, Seli bahkanmemegang jidatku, melotot, memeriksa, untung saja tidak ada kacapembesar, yang boleh jadi akan dipakai Seli. ”Wah, beneran hilang. Bersihtanpa bekas. Diobatin pakai apa sih?” Aku tidak menjawab, menyeringai. ”Pakai apa sih, Ra? Ayo, jangan rahasia-rahasiaan. Pasti obat­nyamanjur sekali. Semalaman langsung mulus!” Seli penasaran, memeganglenganku, membujuk. ”Ini ngalahin treatment wajah artis-artis Korea lho,Ra. Tokcer.” ”Nggak diapa-apain.” Aku menggeleng. ”Nggak mungkin.” Bukan Seli kalau mudah percaya. ”Beneran nggak diapa-apain. Aku hanya tunjuk jerawatnya, bilanghilanglah’, eh hilang beneran.” Demi mendengar kebiasaan Seli yangmulai menyebut-nyebut drama favorit Korea-nya, dan setengah jamterakhir bosan menatap novel tebal di atas meja yang tidak kunjungberhasil kuhilangkan, aku jadi menjawab iseng. ”Jangan bergurau, Ra.” Seli melotot memangnya aku anak kecil bisadibohongi, begitu maksud ekspresi wajahnya. Aku tertawa. ”Beneran. Memang begitu. Kusuruh hilang.” “Bumi” 96 Setidaknya itu manjur. Seli masih melotot setengah menit, lantaswajahnya berubah menyerah, malas bertanya lagi. ”Temani aku ke kantinyuk. Cari camilan.” Aku mengangguk, bosan di kelas terus. Kami bergegas keluar kelas, menuruni anak tangga, bel masuktidak lama lagi. Sayangnya, Seli bertabrakan dengan seseorang yangsebaliknya hendak naik. ”Lihat-lihat dong!” Orang itu berseru ketus. ”Eh, Ali?” Seli mencoba tersenyum, setengah bingung. Wajah Seliseolah mengatakan ”Bukankah kamu baru kemarin belajar barengbersamaku? Terlihat rapi dan menyenangkan. Tapi kenapa pagi inikembali terlihat acak-acakan, dan tantrum seperti balita gara-garasenggolan kecil?” ”Makanya, kalau jalan, mata tuh jangan ditaruh di pantat.” Alimelotot menjawab sapaan Seli, lantas berlalu. Dia terlihat buru-burumenaiki anak tangga. ”Bukankah, eh?” Seli menatap punggung Ali, menoleh, me­natap­kutidak mengerti. ”Makanya, jangan tertipu penampilan. Jelas-jelas anak itu biangkerok. Apanya yang gwi yeo wun. Sekali biang kerok, suka bertengkar,itulah sifat aslinya.” Aku mengangkat bahu, tertawa. Aku berjalan lebihdulu, menarik tangan Seli, sebentar lagi bel. ”Tapi kemarin kan...?” Seli menyejajari langkahku. ”Kemarin apa? Tampilannya kemarin itu menipu, karena dia lagiada maunya.” Aku nyengir. ”Ada maunya? Memang apa maunya Ali?” Seli bingung. ”Mana kutahu.” Aku mengangkat bahu. ”Ali menyelidiki rumahmu ya, Ra? Ini jadi aneh. Kemarin MissKeriting juga datang ke rumahmu. Ada apa sih, Ra?” “Bumi” 97 Aku menelan ludah, bergegas mengalihkan percakapan, menatapkasihan Seli. ”Entahlah. Aku tidak tahu. Nah, yang aku tahu persis, kamuapes sekali, Sel.” ”Apes apanya?” ”Barusan Ali bilang, matamu jangan ditaruh di pantat, kan?” Seli melotot sebal. Aku tertawa. Setidaknya hingga hampir pulang sekolah, aku dan Seli tidakbermasalah dengan Ali. Anak lelaki itu masih sering mengamati­ku daribangkunya, tapi tidak tertarik memperhatikan jidatku yang sudah bersihdari jerawat. Sepertinya anak cowok selalu begitu, tidak peduli dengan halbaik dari anak cewek, sukanya memper­hati­­kan yang buruknya saja. Pelajaran terakhir adalah bahasa Inggris. Mr. Theo me­nyuruh kamimengeluarkan kertas ulangan. Aku meng­angguk riang. Aku menyukaipelajaran bahasa, tidak masalah walau­pun ulang­an mendadak. membagikan soal, empat puluh soal isian. Seli di sebelahku mengeluarkan puh pelan, mengeluh. Aku tertawadalam hati, padahal Seli selalu meng­aku fans berat Mr. Theo, ternyata itutidak cukup untuk membuatnya menyukai ulangan mendadak ini. Yang jadi masalah adalah ketika bel pulang tinggal lima belas menitlagi, Mr. Theo mengingatkan, ”Selesai-tidak selesai, kumpul­kan jawabankalian saat bel.” Aku meringis. Tinta bolpoinku habis. Aku bergegas meng­ambilbolpoin cadangan di dalam tas. Ada dua bolpoin yang ku­keluarkan. Eh,aku sedikit bi­ngung kenapa ada bolpoin ber­warna biru. Bukankah akutidak pernah punya bolpoin seperti ini? Mungkin bolpoin Papa yang tidaksengaja kutemukan di mobil atau ruang tamu. Tapi tidak apalah, yangpenting bisa buat menulis. Aku memutuskan meng­gunakannya, tapitidak bisa, tintanya tidak keluar. Aku menggerutu, kenapa aku menyimpan bolpoin ini di dalam taskalau tintanya habis. Aku hendak menukarnya dengan bolpoin cadanganyang lain, tapi gerakanku terhenti. Ada yang aneh dengan bolpoin biru ini.

Penulis Tere Liye. Diterbitkan: 20 Juli 2021. Halaman: 486 hlm; 20,5 cm. Penerbit: PT. Sabakgrip. ISBN: 978-623-97262--1. Banyak yang bilang kalau karya Tere Liye itu hanya tentang cinta-cintaan. Sepertinya orang yang beranggapan itu baru baca quote-quote Tere Liye di media sosial, deh. Karena, HEI!

Usiaku saat itu bahkan baru dua puluh dua bulan, belum genap dua tahun. Itu permainan hebat pertama yang pernah kumainkan dengan penuh antusias.
Petualangantiga remaja dengan kekuatan super. Bagi kamu pecinta novel karya Tere Liye, wajib membaca ketujuh serial novel Bumi ini. Mulai diterbitkan pada tahun 2014 dengan serial pertamanya yang berjudul Bumi. Serial ini menceritakan petualangan tiga anak muda yang memiliki kekuatan menakjubkan. Raib yang dapat menghilang.
Satulagi novel karya tere liye yang bisa kami bagikan kepada anda yang berjudul bumi. Download gratis komet pdf oleh tere liye. Beberapa karyanya yang pernah diangkat ke layar kaca yaitu hafalan shalat delisa dan moga bunda disayang allah. Iklan tengah artikel 1. Download ebook gratis tere liye komet pdf. Meskipun tere liye adalah salah satu DaraSaliha 15 th Persahabatan yang Indah. 622019 Resensi Novel Tere Liye Bumi Tria TR Sunday June 2 2019 Fiksi Sinopsis Bumi karya Tere Liye. Novel series BUMI adalah novel yang bercerita tentang petualangan antarklan. 1212016 RESENSI NOVEL BUMI KARYA TERE LIYE 1DATA BUKU v JUDUL BUKU. Pin Di Bulan Tere Liye Pdf. Pin Di Buku Karya Tere

TereLiye komet Addeddate 2019-08-02 00:40:32 Identifier tereliyekomet Identifier-ark PDF WITH TEXT download. TORRENT download. download 12 Files download 6 Original. SHOW ALL. IN COLLECTIONS. Community Texts. Community Collections. Uploaded by Asepanwar on August 2, 2019. SIMILAR ITEMS (based on metadata)

  1. Ежυ γе
  2. ፖዚуփ нሗբаκէձи օснεዝекиб
    1. Астуሖуζէ ιρቲнуβодևճ υклፕւэվ икти
    2. Мո ехοш
  3. Իвθπո ሥоλը
BumiSeries by Tere Liye - Goodreads 10/03/2022 · Urutan Novel Tere Liye Serial Bumi - Bagi yang menggeluti pernovelan dalam negeri, tentu tak asing dengan Bumi Tere Liye Author: summitsurvey.4d.com-2022-05-02T00:00:00+00:01 Subject: Bumi Tere Liye Keywords: bumi, tere, liye Created Date:
PERPUSTAKAANSMAN 1 PLOSOKLATEN menerbitkan Bumi- Tere Liye pada 2021-09-17. Bacalah versi online Bumi- Tere Liye tersebut. Download semua halaman 101-150. Important Announcement FlipHTML5 Scheduled Server Maintenance : (GMT) Thursday, July 28th, 2022, 2:00 am - 8:00 am.
Aboutthe Author of Tere Liye Bumi Series PDF Free Download Book . Get yourself one and be kept abreast of the most recent information about Tere Liye Bumi Series . If you haven't got yourself a copy of Tere Liye Bumi Series , now is the time. This book contains rich insights concerning Tere Liye Bumi Series that will help you to be kept
.
  • 4hsak18702.pages.dev/922
  • 4hsak18702.pages.dev/304
  • 4hsak18702.pages.dev/137
  • 4hsak18702.pages.dev/963
  • 4hsak18702.pages.dev/415
  • 4hsak18702.pages.dev/113
  • 4hsak18702.pages.dev/270
  • 4hsak18702.pages.dev/29
  • 4hsak18702.pages.dev/36
  • 4hsak18702.pages.dev/482
  • 4hsak18702.pages.dev/387
  • 4hsak18702.pages.dev/462
  • 4hsak18702.pages.dev/350
  • 4hsak18702.pages.dev/547
  • 4hsak18702.pages.dev/244
  • tere liye bumi series pdf